Harimasih pagi sekali ketika sebuah truk militer Prancis berwarna abu-abu keluar dari pintu gerbang penjara Saint Lazare, Paris, Senin, 15 Oktober 1917. Selain berisi belasan tentara, di dalam truk itu juga terdapat seorang pengacara, biarawati, pendeta, dan seorang tahanan perempuan berumur sekitar 41 tahun. Perempuan cantik itu mengenakan gaun hitam dengan model hobble skirt.
Truk melaju kencang ke arah timur Kota Paris yang dijuluki La Villes des Lumieres. Truk menuju sebuah tempat sepi berjarak 10 Km dari penjara. Dalam hitungan 20 menit, truk tiba di sebuah lahan kosong yang dipenuhi rumput, tak jauh dari reruntuhan benteng dan kastil peninggalan Kerajaan Prancis, Chateau de Vincenne.
Belasan tentara dengan sigap turun dari truk. Disusul kemudian dua biarawati, seorang pastur, dan pengacara. Terakhir yang turun adalah perempuan yang bergaun hitam. Wajahnya terlihat datar dan pucat ketika digiring menuju sebuah tiang pancang yang terdapat 12 tentara dengan senapan di tangan mereka.
Perempuan bergaun hitam itu adalah Margaretha Geetruide Zelle. Ia berkebangsaan Belanda. Margaretha akan dieksekusi mati di hadapan regu tembak. Ia divonis bersalah karena terbukti menjadi mata-mata Jerman dalam Perang Dunia I. Perempuan itu hanya bisa pasrah ketika nyawanya tak lama lagi akan terlepas dari raganya.
Pastur Arbaux, Jaksa Penuntut Pierre Bouchardon, dan pengacara Eduardo Clunet sempat berbincang-bincang. Lalu mereka menyerahkan Margaretha kepada komandan regu tembak militer Prancis berpangkat sersan mayor. Lalu Margaretha diikat di tiang pancang setinggi dua meter. “Tolong, tutup matanya!” perintah sang sersan mayor.
“Haruskan aku memakai itu?” tanya Margaretha sambil memandangi kain penutup mata itu. Clunet, pengacaranya, memandang ke arah komandan pasukan regu tembak dengan penuh tanya. “Kalau nyonya tidak mau, itu tidak wajib,” jawab sang komandan.
Margaretha tak mau matanya ditutup. Ia menatap dengan tabah kepada 12 algojo yang akan menembaknya. Segerombolan burung di atas pepohonan tiba-tiba berterbangan mendengar suara senapan menyalak bersamaan. Seketika tubuh Margaretha terkulai, masih terikat di tiang. Lututnya nyaris menyentuh tanah saat nyawanya melayang.
Begitulah
detik-detik eksekusi mati terhadap Margaretha. Ia adalah seorang penari yang
dijuluki Mata Hari atau Red Dancer, seperti tergambar dalam novel karya Paulo
Coelho berjudul The Spy pada 2016. Coelho menulis novelnya itu
setelah mendapatkan setumpuk dokumen rahasia dinas intelijen Prancis, Inggris,
Belanda, dan Jerman.
“Saya
pulang dengan segunung dokumen,” kata Coelho. Namun, pertanyaannya, bagaimana
Mata Hari bisa terjebak dalam begitu banyak perangkap yang dibuat oleh teman
dan musuh-musuhnya, seperti dikutip Deutsche Welle, 12
Desember 2016.
Tak
hanya Coelho, kisah drama tentang Mata Hari juga ditulis Major Thomas Coulson
dalam bukunya berjudul Mata Hari: Courtesan and Spy (1930).
Mata Hari lahir di Leeuwarden, Belanda, pada 7 Agustus 1876. Ia merupakan putri
pasangan seorang pembuat topi di Belanda bernama Adam Zelle dan Antje van der
Meulen.
Pada
usia 18 tahun, Mata Hari menikah dengan Kapten Rudolf John MacLoed, seorang
perwira Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) di Hindia Belanda
(sekarang Indonesia). Ia pernah ikut suaminya berdinas di Hindia Belanda,
tepatnya di Jawa Timur. Tapi, sejak bercerai dengan sang perwira, Mata Hari
kembali ke Prancis dan menjadi penari erotis di Museum Guimet, Paris, sejak
1905. Saat itu usianya 25 tahun.
Museum
milik Emile Guimet memang sering menampilkan kebudayaan dan kesenian Asia,
Timur Tengah, India, dan Hindia Belanda. Mata Hari lihai menari tarian India
dan Jawa. Tariannya sangat erotis, dengan pakaian yang transparan. Karena
itulah ia dijuluki Lady MacLeod, Red Dancer, dan panggilan yang paling populer
adalah Mata Hari.
Bayarannya
sebagai penari sangatlah mahal. Boleh dibilang Mata Hari adalah selebriti papan
atas dan simbol seksualitas saat itu. Ratusan orang kaya di Paris rela merogoh
kocek dalam-dalam untuk menikmati kemolekan tubuh Mata Hari. Banyak juga para
pria kaya, pejabat pemerintah, dan militer ‘perang dingin’ dalam menaklukan
Mata Hari.
Kondisi
itulah yang membuat hidup Mata Hari begitu glamor. Tinggal di hotel mewah,
pakaian serba mahal, dan makanan lezat. Belum lagi segudang perhiasan yang ia
punya. Tapi kemewahan yang didapat tak lama dan mulai meredup seiring
bertambahnya usia.
Disaat
mulai pecah Perang Dunia I pada 1914, Mata Hari dimanfaatkan agen intelijen.
Apalagi, ia begitu banyak relasi dengan pria kaya dan perwira militer. Seperti
dikutip dari National Geographic, Mata Hari, ketika tengah
berada di rumahnya di Den Haag, dikunjungi Konsul Kehormatan Jerman di
Amsterdam, Karl Kroeme, awal 1916. Kroemer menawarinya uang 20.000 franc atau
setara US$ 61.000 untuk memata-matai kekuatan Prancis dan sekutu.
Mata
Hari menerima uang itu. Kroemer disebutkan banyak melatih Mata Hari menjadi
mata-mata. Ia bahkan sempat disebutkan menjalani pendidikan spionase beberapa
pekan di sebuah tempat di Antwerp, Belgia. Semua informasi yang dilaporkan Mata
Hari harus dibubuhi tanda tangannya dengan sandi H21, dan dikirim ke Hotel de
I'Europe di Amsterdam.
Tak
beberapa lama, Mata Hari kembali ke Paris dan tinggal di Hotel Grand. Tanpa
disadari, gerak-geriknya selalu diawasi sejumlah agen rahasia dari Biro
Deuxieme, sebuah unit kontra intelijen dari Kementerian Perang Prancis yang
dikepalai oleh Georges Ladoux.
Ladoux
meminta semua aktivitas Mata Hari dipantau. Entah di taman, restoran, toko
makanan, toko perhiasan, butik sampai klab malam. Para agen itu juga menyadap
telepon dan surat milik Mata Hari. Tapi hasilnya selalu nihil. Tak satupun
indikasi yang mengarah bahwa Mata Hari mengumpulkan dan memberikan informasi
kepada Jerman.
Dalam
Perang Dunia I, pasukan Prancis menang begitu terdesak, seperti wilayah Verdun
dan Somme yang kian luluh lantak. Mental prajurit terpukul. Untuk membangkitkan
semangat juang sangat dibutuhkan gerakan kejutan. Salah satu upaya dengan
operasi spionase. Kesempatan ini digunakan Ladoux mendekati mantan penari
erotis tersebut.
Ladoux
memanfaatkan Mata Hari sebagai spion Prancis. Apalagi ia tahu bahwa Mata Hari
sangat butuh uang untuk biaya merawat kekasihnya yang tengah terluka berat dan
dirawat di rumah sakit Den Haag. Kekasihnya itu adalah Kapten Vladimir de
Massloff, seorang pilot pesawat tempur Rusia yang ditugaskan membela
Prancis.
Mata
Hari mengamini tawaran Ladoux dengan janji akan menerima bayaran mahal dan bisa
mengunjungi kekasihnya di Den Haag. Ia lalu ditugaskan melakukan perjalanan ke
Madrid, Spanyol, menggunakan Kapal SS Hollandia. Tapi, begitu transit di
Pelabuhan Folkestone, Inggris, Mata Hari diinterogasi agen intelijen Inggris,
M16.
Mata Hari dicurigai sebagai agen Jerman dengan nama Clara Benedix. Karena terdesak, Mata Hari mengaku sebagai agen dari Prancis. Pihak Inggris tak lama mengontak Ladoux. Tentu saja, Ladoux tak mengakui Margaretha sebagai agennya dan meminta sejawatnya di Inggris untuk melepasnya dan melanjutkan ke Spanyol.
Foto Margaretha Zelle 'Mata Hari' saat ditangkap polisi di Prancis pada 1917Foto:
Museum of Friesland Leeuwarden/BBC
Ladoux
memang sengaja tak mengakui dan mempekerjakan Mata Hari untuk membuktikan bahwa
perempuan itu telah menjadi agen Jerman. Di Madrid, Mata Hari bertemu secara
rahasia dengan diplomat Jerman, Mayor Arnold von Kalle pada Desember 1916.
Kalle yang diketahui sebagai kekasih gelap Mata Hari membocorkan rahasia
pendaratan tentara Jerman dan Turki di perairan Maroko.
Informasi
ini disampaikan kepada Ladoux melalui Kolonel Joseph Denvignes dari Kedutaan
Prancis. Denvignes juga pria yang menaruh hati kepada Mata Hari. Ladoux
memerintahkan semua pesan radio antara Madrid dan Berlin dipantau. Ladoux
sangat yakin hubungan relasi Mata Hari dengan Jerman sangat kuat.
Setelah
dari Madrid, Mata Hari kembali ke Paris. Ia bermaksud untuk menemui Ladoux
meminta janji bayaran yang akan diterima atas pekerjaannya itu. Tapi Ladoux
selalu menghindar dan malah melaporkan Mata Hari sebagai agen Jerman atau agen
ganda kepada pihak Kejaksaan Prancis.
Di
awal 1917, Mata Hari mulai panik. Ia tak bisa menemui Ladoux untuk menagih
janji. Di sisi lain, ia juga khawatir dengan keadaan Vladimir, kekasihnya yang
sangat sulit dihubungi juga. Saat kondisinya sedang kalut, Mata Hari ditangkap
dinas intelijen. Kamarnya digeledah. Ia dijebloskan ke penjara Saint
Lazare.
Kasusnya
dilimpahkan kepada jaksa penuntut Pierre Bouchardon yang dikenal keras dan tak
kenal belas kasihan. Pierre sangat dikenal membenci sosok Mata Hari. Selama
ditahan di penjara Saint Lazare, Paris, Margaretha sulit ditemui pengacaranya,
Eduardo Clunet. Bahkan sejumlah surat yang dikirimkan kepada kekasihnya
Vladimir de Massloff ditahan dan tak pernah sampai.
Setelah
melalui serangkain persidangan panjang sejak 24 Juli 1917, Mata Hari pun
divonis bersalah. Ia dituduh sebagai manusia tak bermoral yang telah
menyebabkan kematian 50.000 prajurit sekutu di atas kapal perang. Kapal itu
ditorpedo kapal selam milik Jerman. Akhirnya hidup Mata Hari selesai di hadapan
12 regu tembak dari Resimen ke-4 Zouaves Bataliyob Dragoons ke-23.
“Demi
Tuhan! Perempuan itu tahu bagaimana caranya mati,” komentar sang komandan regu
tembak itu melihat tenangnya Mata Hari ketika akan dieksekusi.
Penulis: M. Rizal Maslan
Editor: Irwan Nugroho
Tidak ada komentar:
Posting Komentar