Full width home advertisement

Travel the world

Climb the mountains

Post Page Advertisement [Top]

 

Lukisan Raden Saleh


Penangkapan Pangeran Diponegoro (bahasa BelandaGevangenname van Prins Diponegoro) adalah sebuah lukisan 1857 karya Raden Saleh, yang menggambarkan ditangkapnya Pangeran Diponegoro oleh Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock pada 28 Maret 1830.

Pada tahun 1829-1851, Raden Saleh, di bawah naungan pemerintah Hindia Belanda, tinggal di Eropa, di mana ia menerima pendidikan seni. Setelah kembali ke tanah airnya, dia memutuskan untuk mempraktekkan apa yang telah dia pelajari di Eropa dan dengan demikian berkontribusi pada modernisasi Jawa. Untuk gambaran yang direncanakannya, Raden Saleh memilih plot dari sejarah Jawa, yaitu penyerahan pemimpin pemberontakan Jawa dari Diponegoro kepada pasukan kolonial di bawah komando Letnan Jenderal Hendrik Mercus de Kock yang terjadi pada tahun 1830.

Diketahui keluarga Saleh mendukung Diponegoro, banyak kerabatnya ikut serta dalam pemberontakan. Menurut kritikus, sehubungan dengan ini, Saleh ingin menampilkan versinya sendiri, non-kolonial — berbeda dengan karya oleh seniman Belanda Nicolaas Pieneman dalam lukisan berjudul Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Jenderal De Kock (1830-1835).

Dalam lukisan kedua seniman itu, Diponegoro berdiri di sebelah de Kock di tangga sebuah rumah kolonial, dikelilingi oleh perwira Belanda dan orang Jawa yang dilucuti. Namun Saleh mengisi karyanya dengan suasana kesedihan, menggambarkan Diponegoro dan de Kock sejajar dengan latar fajar hari baru, sehingga mengisyaratkan, menurut para kritikus, pembebasan masa depan Jawa dari kolonialisme.

Saleh melukis lukisan itu pada tahun 1856-1857, setelah itu ia secara pribadi menyerahkannya kepada Raja Willem III dari Belanda. Pada tahun-tahun berikutnya, kanvas ini disimpan di Istana Het LooDen Haag. Pada tahun 1978, lukisan itu disumbangkan kepada pemerintah Indonesia yang sudah merdeka, setelah itu dipamerkan di Museum Nasional Indonesia dan Istana Kepresidenan di Jakarta. Karena lukisan tersebut berada dalam keadaan yang buruk, lukisan tersebut sepenuhnya direstorasi pada tahun 2013. Kini lukisan tersebut menjadi bagian dari koleksi Museum Kepresidenan.

Diponegoro (1785-1855), keturunan Sultan Yogyakarta dan putra tertua Hamengkubuwono III, dilewati dalam suksesi takhta tetapi tidak melepaskan klaim kepemimpinannya di kalangan priyayi.[1][2] Dengan deklarasi perang suci melawan penjajah dan proklamasi dirinya sebagai Ratu Adil, ia memberontak melawan sultan yang berkuasa dan pemerintah kolonial Belanda.[3][4][1]

Dalam perang yang diselenggarakan 5 tahun berikutnya di sebagian besar wilayah Jawa Tengah, lebih dari 200.000 tentara Jawa dan 15.000 tentara Belanda tewas.[4][5] Setelah serangkaian kemenangan besar, sebagian besar pemimpin pemberontakan ditangkap dan peperangan mencapai titik balik yang menguntungkan Belanda. Pada tanggal 28 Maret 1830, Diponegoro diundang oleh Letnan Hendrik Merkus de Kock ke wisma keresidenan di Magelang untuk menandatanggani perjanjian perdamaian dan mengakhiri permusuhan. Ia ditangkap karena kebuntuan dalam negosiasi setelah menolak untuk mengakui statusnya sebagai pemuka agama umat Islam se-Pulau Jawa.[6][7][8][9][10]

Kemudian dia dimasukkan ke dalam kereta ke Batavia (nama lama dari Jakarta), dari mana dia dikirim ke Manado di pulau Sulawesi; kemudian dipindahkan ke Makassar, di mana ia meninggal dalam pengasingan dua dekade kemudian.[6][11][12] Diponegoro meninggalkan sejarah pemberontakan Jawa yang ditulis secara pribadi[2] beserta autobiografinya.[13]

Kemudian pada masa Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20 yang berawal dari didirikannya Boedi Oetomo oleh siswa dari STOVIA, sosok Pangeran yang diasingkan ditemukan kembali dan dipercepat oleh seni populer serta politik organisasi pemuda nasionalis dan Islam menghasilkan pemimpin Perang Jawa tersebut menjadi tokoh simbol dalam pergerakan nasional. Tokoh-tokoh kunci seperti Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) dan penulis biografi pertama Diponegoro, Mr Muhammad Yamin (1903-1962), memperkenalkan sang Pangeran kepada khalayak Indonesia modern untuk pertama kalinya dan menjadikannya sebagai pemantik perjuangan kemerdekaan.[14] Dalam kerangka konstruksi ideologis Indonesia merdeka, ada pendapat bahwa bangsa Indonesia muncul dalam nyala api perang Jawa serta ingatan akan perjuangan, prestasi, dan penderitaan Diponegoro membuka jalan bagi pembebasan bangsa Indonesia dari belenggu kolonialisme akhirnya pada tahun 1945.[15] Pada tahun 1973, Diponegoro secara anumerta diproklamasikan sebagai "Pahlawan Nasional Indonesia".[16]

Hampir setiap kota di Indonesia memiliki jalan atau alun-alun yang diambil dari nama Diponegoro, sebuah universitas di Semarang diambil namanya dan sebuah monumen didirikan di Jakarta.[17] Sebuah museum di Magelang tempat Diponegoro ditangkap telah dibangun dan dibuka untuk umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]